Lima 'Jangan' Dalam Hadapi Masalah |
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya akan diberi jalan keluar dari setiap urusannya dan diberi pertolongan dari tempat yang tak terduga, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya. " (QS Ath-Thalaq: 2-3) Fitnah, musibah, kekurangan harta, penyakit, penghinaan, kesempitan, masalah kewangan, anak-anak yang bermasalah, adalah sebagian masalah yang akan selalu menghampiri kita. Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada, ia akan selalu turut serta menjadi sebahagian dari kehidupan kita. Masalahnya, bagaimana sebaiknya kita berhadapan dengan masalah tersebut? Maka, (1) amalkan prinsip "LIMA JANGAN" saat masalah menimpa. (2) Lalu terima dan hadapi masalah tersebut dengan lapang dada. (3) Setelah itu jalani sebagai sebuah proses pembelajaran.(4) Kemudian hayati hikmah di balik masalah itu, hingga akhirnya kita mampu menikmatinya sebagai kurnia dari Allah SWT. Akhir kata, sesuai ayat yang tersebut dalam QS Ath-Thalaq: 2-3 di atas, bahawa dengan bertaqwa dan bertawakal-lah insya Allah setiap urusan dan permasalahan akan diberi jalan keluar yang terbaik oleh-Nya. (Oleh:KH Abdullah Gymnastiar) |
Wednesday, July 25, 2007
Jangan ! Jangan! Jangan! Jangan! Jangan!
JIWA YANG SIHAT
Santapan jiwa yang paling bermanfaat adalah keimanan dan ubat yang paling mujarab adalah al-Quran. Selain itu, jiwa yang sihat memiliki sifat sebagaimana berikut :
- Matlamatnya Akhirat
Jiwa yang sihat bergerak dari dunia menuju ke akhirat dan seakan-akan telah sampai di
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau (musafir) yang melalui suatu jalan.” (HR. al-Bukhari)
Bila jiwa seseorang itu sihat, dia akan mengembara menuju akhirat dan menghampirinya, sehingga seakan-akan dia telah menjadi penghuninya. Sedangkan bila jiwa tersebut sakit, maka dia akan terlena dengan dunia dan menganggapnya sebagai negerinya yang kekal, sehingga jadilah dia hamba kepadanya.
- Keinginan Menuju Allah s.w.t.
Di antara tanda tenteramnya jiwa ialah selalu mendorong seseorang untuk kembali kepada Allah s.w.t. dan tunduk kepada-Nya. Dia bergantung hanya kepada Allah, mencintai-Nya sebagaimana seseorang mencintai kekasihnya. Tidak ada kehidupan, kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan kecuali hanya dengan ridha Allah, merasa dekat dan rasa jinak terhadap-Nya. Merasa tenang dan tenteram dengan Allah, berlindung kepada-Nya, bahagia bersama-Nya, bertawakkal hanya kepada-Nya, yakin, berharap dan takut hanya kepada Allah.
Maka jiwa tersebut akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk mecari ketenangan dan ketenteraman bersama Ilah sembahannya. Tatkala itulah ruh benar-benar merasa kehidupan dan kenikmatan dan menjadikan hidupnya lain daripada yang lain, bukan kehidupan yang penuh dengan kelalaian dan berpaling dari tujuan penciptaan manusia. Untuk tujuan menghamba kepada Allah s.w.t inilah syurga dan neraka diciptakan, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.
Abul Husain al-Warraq berkata, “Hidupnya jiwa adalah dengan mengingat Zat Yang Maha Hidup dan Tidak Pernah Mati, dan kehidupan yang nikmat adalah kehidupan bersama Allah, bukan selain-Nya.”
Oleh kerana itu terputusnya hubungan seseorang dengan Allah s.w.t. adalah lebih dahsyat kepada orang-orang arif yang mengenal Allah daripada kematian, kerana terputus dari Allah adalah terputus dari al-Haq, sedang kematian adalah terputus dari sesama manusia.
- Tidak Bosan Berzikir
Di antara tanda sihatnya jiwa adalah tidak pernah bosan untuk berzikir mengingat Allah s.w.t. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain dari Nya, kecuali kepada orang yang menunjukkan jalan kepada Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah s.w.t. atau saling mengingatkan dalam kerangka berzikir kepada-Nya.
- Menyesal jika Tertinggal dari Berzikir
Jiwa yang sihat akan rasa menyesal, merasa sedih dan sakit melebihi sedihnya seorang bakhil yang kehilangan hartanya jika tertinggal atau terlupa berzikir.
- Rindu Untuk Beribadah
Jiwa yang sihat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah s.w.t. , sebagaimana rindunya seorang yang lapar terhadap makanan dan minuman.
- Khusyu’ Dalam Solat
Jiwa yang sihat akan meninggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan ketika sedang menunaikan solat. Sangat berhati-hati dalam masalah solat dan bersegera melakukannya, serta memperolehi ketenangan dan kenikmatan di dalam solat tersebut. Baginya solat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa.
- Keinginannya Hanya kepada Allah
Jiwa yang sihat, keinginannya hanya satu, iaitu kepada segala sesuatu yang diredhai Allah s.w.t..
- Menjaga Waktu
Di antara tanda sihatnya jiwa adalah merasa sayang jika waktunya hilang dengan sia-sia, melebihi sayang seorang yang kikir terhadap hartanya.
- Muhasabah dan Memperbaiki Diri
Jiwa yang sihat senantiasa memberi perhatian untuk terus memperbaiki amal, melebihi perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkatkan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba’ah dan ihsan (seakan-akan melihat Allah s.w.t. dalam beribadah, atau selalu merasa dilihat Allah). Di samping itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah s.w.t. serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya.
Demikian di antara beberapa tanda yang menunjukkan sihatnya jiwa seseorang.
Dapat disimpulkan bahwa jiwa yang sihat dan tenteram adalah qalbu yang himmah (keinginannya) kepada sesuatu yang menuju Allah s.w.t. , mencintai-Nya dengan sepenuhnya, menjadikan-Nya sebagai matlamat. Jiwa raganya untuk Allah, amalan, tidur, bangun dan bicaranya hanyalah untuk-Nya. Dan ucapan tentang segala yang diredhai Allah lebih dia sukai daripada segala pembicaraan yang lain, fikirannya selalu tertuju kepada apa sahaja yang diredhai dan dicintai-Nya.
Berkhalwah (menyendiri) untuk mengingat Allah s.w.t lebih dia sukai daripada bergaul dengan orang, kecuali dalam pergaulan yang dicintai dan diredhai-Nya. Kebahagiaan dan ketenangannya adalah bersama Allah, dan ketika dia mendapati dirinya berpaling kepada selain Allah, maka dia segera mengingat firman-Nya,
”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diredhai-Nya.¨ (QS. 89:27-28)
Dia selalu mengulang-ulang ayat tersebut, dengan harapan dia akan mendengarnya nanti pada hari Kiamat dari Rabbnya. Maka akhirnya jiwa tersebut di hadapan Ilah dan Sesembahannya yang Haq akan terwarna dengan sibghah (celupan) sifat kehambaan. Sehingga jadilah dia abdi sejati sebagai di segi sifat dan karakternya, ibadah adalah nikmat bukannya beban yang memberatkan. Dia melakukan ibadah dengan rasa gembira, cinta dan rasa dekat kepada Rabbnya.
Ketika diajukan kepadanya perintah atau larangan dari Rabbnya, maka hatinya berkata, “Aku sambut panggilan-Mu, aku penuhi dengan suka cita, sesungguhnya aku mendengar, taat dan akan melaksanakannya. Engkau berhak dan layak mendapat semua itu, dan segala puji kembali hanya kepada-Mu.¨
Apabila ada takdir menimpanya maka dia mengatakan, ” Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, miskin dan memerlukan-Mu, aku hamba-Mu yang fakir, lemah tidak berdaya. Engkau adalah Rabbku yang Maha Mulia dan Maha Penyayang. Aku tidak mampu untuk bersabar jika Engkau tidak menolongku untuk bersabar, tidak ada kekuatan bagiku jika Engkau tidak membantuku dan memberiku kekuatan. Tidak ada tempat bersandar bagiku kecuali hanya kepada-Mu, tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kepadaku kecuali hanya Engkau. Tidak ada tempat berpaling bagiku dari pintu-Mu, dan tidak ada tempat untuk lari dari-Mu.¨
Dia mempersembahkan segalanya hanya untuk Allah s.w.t, dan dia hanya bersandar kepada-Nya. Apabila ditimpa sesuatu yang tidak disukai maka dia berkata, “Rahmat telah dihadiahkan untukku, ubat yang sangat bermanfaat dari Zat Pemberi Kesembuhan yang mengasihiku.” Jika dia kehilangan sesuatu yang dia sukai, maka dia berkata, “Telah disingkirkan keburukan dari sisiku.“
Semoga Allah s.w.t memperbaiki jiwa kita semua, dan menjaganya dari penyakit-penyakit yang merosak dan membinasakan, Amin.
Ada Apa pada HATI??
Ada Apa pada HATI??
PERKEMBANGAN jiwa dan watak manusia mempunyai hubungan rapat dengan kedudukan dan bentuk hati (qalbu) yang dimilikinya. Secara umumnya hati atau jiwa manusia itu memiliki sifat hidup dan mati.
Bagi hati yang suci dan hidup (qalbun sahih) maka ia akan membawa tuannya ke jalan selamat di mana kemurniaan ubudiyahnya meletakkan seluruh aktiviti kehidupan hanya untuk Allah SWT. Bagi hati yang keji dan mati (qalbun Mayyit) pula akan membawa tuannya ke arah kebinasaan dengan menjerumuskannya ke dalam tuntutan nafsu syahwat yang penuh kejahilan sehingga lupa menyembah Allah SWT selaku khaliqnya.
Di antara kedua-dua jenis hati itu, ada pula hati Qalbun Maridh (hati yang sakit) yang masih lagi memiliki nur keimanan tetapi berada dalam keadaan yang samar kerana tidak berupaya berhadapan dengan desakan hawa nafsu.
Dalam penelitian kaum sufi, qalbu disebut sebagai nurani kerana ia memiliki kesedaran antara baik dan buruk. Firman Allah SWT yang bermaksud, “Kemudian Kami jadikan al-Quran itu diwarisi oleh orang yang kami pilih dari kalangan hamba kami; maka di antara mereka ada yang berlaku zalim kepada dirinya sendiri (dengan tidak mengindahkan ajaran al-Quran), dan di antara mereka ada yang bersikap sederhana, dan di antaranya pula ada yang mendahului orang lain dalam berbuat kebajikan dengan izin Allah. Yang demikian itulah limpah kurnia yang besar dari Allah semata-mata” (surah Fathir: 32).
Berdasarkan ayat ini Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah membahagikan manusia kepada tiga darjat kedudukan :
- Golongan Zhalimun Linafsih - iaitu golongan yang sentiasa menzalimi dan menganiaya dirinya. Mereka adalah golongan yang derhaka kepada Allah SWT, meninggalkan perintah (suruhan dan larangan) serta mengerjakan kejahatan (kemungkaran) .
- Golongan Mukhtasid - iaitu golongan manusia darjatnya pertengahan dengan sifatnya cermat, berhati-hati dengan melaksanakan kewajipan dan menjauhi laranganNya.
- Golongan Sabiqun Bil-Khairat - iaitu golongan yang sentiasa aktif dan proaktif dalam melakukan dan mengerjakan kebaikan. Golongan ini tinggi kerohaniannya di mana mereka tidak hanya menunaikan kewajipan, sebaliknya melakukan amalan sunat, tetap istiqamah melaksanakan perintah (suruhan dan larangan) serta meninggalkan perkara yang syubhat dalam kehidupannya.
Sayid Sabiq pula telah membahagikan kekuatan kerohanian manusia kepada tiga tingkat :
- Nafsu amarah iaitu tingkat nafsu insan paling rendah dan hina yang hanya mengutamakan desakan atau dorongan hawa nafsu semata-mata serta godaan syaitan.
- Nafsu Lawwammah iaitu nafsu yang dapat mengawal amal salih serta gemar menegur atau mengkritik diri apabila terjerumus ke dalam lembah kemungkaran.
- Nafsu Mutmainnah iaitu tingkat kerohanian insan paling tinggi dan luhur. Ini adalah jiwa yang tenang lagi suci dalam keadaan kekal melakukan kebaikan amal salih.
Menurut Iman al-Ghazali, proses penyucian diri (tazkiah al-nafs) untuk mencapai tahap nafsu yang diredai seperti tahap nafsu di atas dapat diperoleh melalui jalan ilmu dan beramal. Tazkiyyah al-nafs mengandungi dua keadaan iaitu membebas (mengosongkan) diri dari sebarang sifat mazmumah (keji) dan mengisi (menghiasi) jiwa dengan sifat mahmudah (mulia).
Ilmu tasawuf berkaitan dengannya. Dalam pengertian ilmu, tasawuf bermaksud mensucikan qalbu dan menjernihkan roh agar dapat merasai limpahan cahaya ilahi. Amalan tasawuf dibangunkan di atas latihan kerohanian (riyadhat ruhiyyah). Pengamalan dan penghayatan tasawuf adalah bermatlamatkan ibadat dan zuhud semata-mata.
Sesungguhnya kesejahteraan, kedamaian dan kebaikan jiwa insan mukmin itu bergantung kepada tazkiyyah al-nafs. Nafsu pada hakikatnya adalah penggerak tingkah laku yang cenderung kepada sama ada kebaikan atau kejahatan. Allah mengilhamkan kepada jiwa insan itu dua ilham - ilham berbentuk fujur iaitu jalan yang membawa insan ke arah kesejahteraan dan ilham berbentuk takwa iaitu jalan yang membawa manusia ke arah kebaikan dan amal soleh.
Dua bentuk jalan ini terkandung dalam firman Allah SWT yang bermaksud, “Demi diri manusia dan yang menyempurnakan kejadiannya serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada bertakwa.
Sesungguhnya berjayalah orang menjadikan dirinya yang sedia bersih bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan), dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih itu susut dan terbenam kebersihannya dengan sebab kekotoran maksiat “ jiwanya” (surah Asy-Syams: 7-10).
Sifat qalbu (hati/jiwa) sering berbolak-balik dan sering berperang antara nafi dan isbat. Dalam ayat 1, surah Alam Nasyrah digunakan kata `sadr’ yang bererti “dada” untuk menggambarkan suasana hati (jiwa). Keadaan ini menjelaskan bahawa hati manusia itu bersifat tidak konsisten atau berbolak-balik.
“Perang batin” ini tidak akan berkesudahan selagi ia tidak mencapai kepada keyaqinan (aqidah/keimanan) yang teguh. “Perang batin” ini dapat dirasai ketika manusia ingin melakukan ibadat seperti solat, puasa, berzakat, berjihad dan sebagainya. Untuk mencapai keyaqinan maka jihad melawan hawa nafsu perlu dilaksanakan oleh manusia dan inilah yang sering disebut sebagai “jihad besar”.
Jihad melawan hawa nafsu inilah yang menjadi manhaj (jalan) mengenal Allah SWT. Qalbu (hati) perlu dijaga kerana pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan bermasyarakat (bernegara) amat jelas; jika baik hati individu itu maka baiklah amalannya, sebaliknya jika kotor jiwa individu itu maka buruklah amalannya.
Sebuah hadis nabi bermaksud, “Ketahuilah bahawa dalam jasad itu ada seketul darah (daging), apabila ia bersih, maka akan bersihlah tubuh badan semuanya dan apabila ia rosak (keji) maka akan rosaklah seluruh tubuh itu, Ketahuilah itulah hati” (Muttafaqun `Alaih).
Dalam masyarakat Melayu sering kita mendengar kata-kata seperti ‘Hati Iblis’, ‘Hati Yahudi’,’Hati Malaikat’ dan seumpamanya. Semua bentuk gelaran hati ini melambangkan keperibadian pemiliknya. Hati yang kotor (keji) boleh menjadi hijab kepada ‘Nur Ilahi’.
Qalbu (hati) terang bercahaya menjadi nur (pelita/cahaya) kepada manusia menempuh jalan baik dan haq. Al-Quran itu sendiri diturunkan menjadi huda lil muttaqin (petunjuk kepada hati yang bertakwa).
Justeru, hati mesti dibersihkan melalui jalan tarbiyyah rabbani ke dalam jiwa mukmin yang mampu dilakukan melalui amal ibadat yang dicontohkan oleh nabi dan sahabatnya serta para tabiin.
Al-Quran menegaskan, “Dan jadikanlah dirimu sentiasa berdamping rapat dengan orang yang beribadat kepada Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang, yang mengharapkan keredaan Tuhan semata-mata; dan janganlah engkau memalingkan pandanganmu daripada mereka hanya kerana engkau mahukan kesenangan hidup di dunia; dan jangan engkau mematuhi orang yang kami ketahui hatinya lalai daripada mengingati dan mematuhi pengajaran kami di dalam al-Quran, serta ia menurut hawa nafsunya, dan tingkah lakunya pula adalah melampaui kebenaran” (Surah al-Kahfi: 28).
Hawa adalah kecenderungan nafs kepada syahwat. Ia adalah ciri tingkah laku negatif yang merosakkan kehidupan manusia. Ia menyukai, menyenangi dan merindui terhadap perkara yang dihajati atau dikehendakinya oleh syahwah.
Syahwah adalah kalimat dalam al-Quran yang menggambarkan keinginan insan terhadap keseronokan, kelazatan dan kesenangan (surah Maryam: 4). Ia juga bermaksud fikiran tertentu yang cenderung ke arah melakukan kejahatan dan penyelewengan ( An-Nisaa: 27) dan syahwah juga bermaksud perilaku terhadap seks ( An-Naml: 55).
Untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan hati maka manusia perlulah mengikis penyakit hati yang bersarang di jiwanya.
Oleh Mohd Ayop Abd Razid