Tuesday, September 09, 2008

Ramadhan: Peluang Mengembalikan Rasa Penghambaan Yang Telah Hilang

Apa-apa yang hilang dari diri kita, terkadang terjadi kerana tindakan kita. Sebahagian yang lain mungkin bukan. Maka, dalam bulan Ramadhan ini amri kisa muhasabah apa yang hilang dari kita sangatlah penting. Tetapi lebih penting lagi mengerti bagaimana kehilangan itu terjadi, lalu dengan pengertian itu pula kita mengetahui apa pengaruhnya bagi jati diri kita.


Banyak yang harus kita cermati, apa saja yang mungkin hilang dari diri kita. Tetapi hal-hal berikut, barangkali layak diperhatikan, sekadar sebagai sudut pandang yang mungkin dapat memetakan, di mana dan hendak kemanakah kita melangkah, di tengah persimpangan jalan-jalan yang telah melenyapkan dan menghilangkan banyak hal, moga keberkatan Ramadhan dapat mengembalikan kembali apa yang telah hilang…
Kehilangan Semangat penghambaan


Ini mungkin sangat klasik. Tapi, mari sejenak berbicara tentang iman. Sebuah kenderaan yang dengannya kita berharap dapat sampai ke tujuan hidup yang sesungguhnya. Tujuan akhir dari penciptaan diri kita: menghambakan diri kepada Allah. Lalu mengharap redha-Nya, memohon syurga-Nya, dan meminta dijauhkan dari neraka-Nya.


Semangat penghambaan. Itu istilah yang dapat kita guna untuk menggambarkan situasi keimanan kita. Kuat atau lemahnya, tinggi atau rendahnya. Iman, memang naik dan turun. Maka semangat kita untuk menghayati seluruh warna-warni kehidupan ini – sebagai apapun kita – dalam frame dan bingkai iman, kadang juga turut naik atau turun. Hal ini sangat biasa terjadi pada diri kita, juga pada diri siapapun.
Bila begitu kenyataannya, pasti, selalu akan ada yang terasa hilang dari ghairah penghambaan itu, pada saat ketika iman itu sedang turun. Dunia yang penuh gemerlap dan keseronokan, mungkin saja menyeret kita menjadi orang-orang yang lupa akan tujuan akhir hidup ini. Naudzubillah.


Kerananya, Abu Darda’ berkata, "Sesungguhnya di antara tanda kefahaman seorang hamba, adalah menjaga imannya dari hal-hal yang dapat menguranginya. Serta memahami, apakah sedang bertambah atau berkurang imannya.”


Kehilangan jenis ini, sejujurnya harus difahami sebagai kehilangan yang paling besar. Sebab apalah ertinya hidup bila tidak ada lagi tujuan mengharap redha Allah SWT. Dalam bentuk beribadah kepada Allah, mungkin semangat kita melakukan ibadah-ibadah tidak lagi sekuat dahulu. Solat sunat misalnya, puasa sunat mahupun puasa wajib yang sedang kita lalui sekarang terkadang rasa hambar dan tiada nikmatnya, dalam kita membaca Al-Qur’an, terkadang kita tidak rasa apa-apa keistimewaannya. Atau dalam bentuk keyakinan, mungkin tiba-tiba kita seperti anak-anak yang belum baligh yang masih masih belajar mengenal Tuhannya, maka kita kita begitu asing dengan kewujudan dan kehebatan Allah, tentang makna kematian, alam kubur, hari kiamat, syurga, neraka. Perkara-perkara di atas seolah ia telah hilang dari rasional kita untuk memahami dan menghayatinya. Tiba-tiba hati kita begitu kering kontang. Seperti kemarau panjang yang panas menusuk tulang-tulang.


Maka, bagaimana kita harus menghadapi situasi di atas? Suatu hari, Ibnu Taimiyah ditanya, “Dengan apakah seseorang menguatkan imannya hingga menjadi sempurna, Apakah dengan meninggalkan larangan Allah, atau dengan ilmu, atau dengan beribadah?"
Ibnu Taimiyah menjawab, “Ia harus mengambil batas wajibnya dari keimanan, batas wajibnya dari ibadah, dan batas wajibnya dari meninggalkan larangan Allah. Sesudah itu, manusia bertingkat-tingkat, sesuai cabang-cabang yang ada dalam keimanan dan sesuai dengan jerih payahnya yang berbeza-beza.”


Semoga Ramadhan kali ini memberi kita peluang untuk bertanya dan mencari jawapan, adakah yang hilang dari semangat penghambaan kita kepada Allah atau hati dan jiwa kita telah dijajahi sehingga menjadikan kita hamba hawa nafsu dan keseronokan dunia?

No comments:

Post a Comment