Kebanyakan manusia memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu. Sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak bahunya. Dan semakin banyak kewajiban yang ada maka semakin terasa berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan.
Berbeza dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai :
1. Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
2. Peluang untuk meningkatkan kualiti diri, dan
3. Jalan untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan terjaga dirinya,
4. Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan menfokuskan diri pada sikap rabbani.
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi.
”Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada amal ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku cintai dari pada kewajiban yang telah Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dipergunakan untuk melihat, tangan yang dipergunakan untuk memegang, kaki yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku pasti akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti akan Aku lindungi.” (HR Bukhari)
Kadar kewajiban
Allah swt telah memberikan kewajiban kepada manusia ini sesuai dengan kapasiti dan kemampuan setiap orang, Firman Allah:
“Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang dimampui.” (QS. 2/Al Baqarah: 286)
Kewajiban guru berbeza dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeza dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeza dengan kewajiban orang kaya dan sebagainya. Masing-masing telah mendapatkan amanah kewajiban yang sebanding dengan keperluan kebaikan yang hendak dicapai iaitu:
1. Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi keperluan orang untuk mendapatkan kualiti peribadi yang baik, sehingga ia menjadi soleh bagi dirinya secara fizikal, intelektual, dan spiritual.
2. Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqushshilah (menguatkan hubungan dengan Allah), sehingga setiap saat pertolongan Allah dapat diraih untuk mendapatkan kecemerlangan hidup dunia dan akhirat.
3. Kewajiban kepada sesama manusia berfungsi untuk membina keharmonian kehidupan dalam ikatan nilai dan kebaikan. Kewajiban itu mencakupi:
a. Kewajiban kepada kedua orang tua.
b. Kewajiban suami isteri.
c. Kewajiban kepada anak.
d. Kewajiban kepada kerabat.
e. Kewajiban kepada tetangga.
f. Kewajiban kepada saudara.
g. Kewajiban kepada manusia dan masyarakat pada umumnya.
Dimana posisi kita dari semua kewajiban itu?
1. Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah maka, kita baru dapat mensolehkan diri sendiri, secara fizikal, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak mampu mensolehkan diri dalam aspek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu mesolehkan orang lain.
2. Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah dapat diterima.
3. Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan bersikap dan bersangka baik dengan kita? Rasulullah saw yang senantiasa bersikap baik, menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapapun masih juga berhadapan dengan perlakuan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh manusia kepada baginda saw.
a. Bagaimana mungkin orang tua akan bersimpati dan mahu mendengar ucapan anaknya, jika si anak tidak menunaikan kewajibannya kepada kedua orang tuanya?
b. Bagaimana mungkin pasangan hidup akan mahu menerima dengan utuh pasangannya jika ia tidak menunaikan kewajibannya dengan baik?
c. Akankah anak menghargai dan menghormati kedua orang tuanya dengan ikhlas, jika kedua orang tuanya tidak menunaikan kewajibannya dengan baik?
d. Akankah kerabat kita akan bersimpati jika kewajiban kepada mereka tidak terpenuhi?
e. Akankah tetangga akan menjadi saksi dan pembela yang ikhlas kepada kita, jika kewajiban kepada mereka tidak ditunaikan?
f. Akankah sanak saudara mahu menjadi penolong kesulitan kita, jika kewajiban kepada mereka tidak dilaksanakan?
g. Akankah masyarakat mahu bersama kita dan menghormati kita, jika kewajiban kepada mereka tidak kita berikan?
Dan kita memerlukan mereka semuanya, untuk kepentingan dakwah dan pembinaan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan bererti apa-apa kesolehan peribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi kesan atas kesolehan kita kepada lingkungan persekitaran hidup kita
.
Semakin banyak peranan yang ingin kita laksanakan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peranan dengan sedikit kewajiban yang ditunaikan adalah kebangkrapan, dan banyak kewajiban tanpa peranan yang dilaksanakan adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki muslim yang yang berperanan aktif, produktif, dan dinamik dalam menjana kewibawaan Islam sebagai peneraju kejayaan ummah.
Justeru untuk semua itu, kewajiban yang ada pada kita harus dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh dan penuh bertanggujawab. Hasan al-Banna mewasiatkan agar kita nasihat menasihati satu dengan yang lain dalam masalah menguruskan kewajipan. Katanya: “Kewajipan lebih banyak dari masa. Bantulah orang lain agar mereka memanfaatkan masa mereka. Jika kamu ada urusan (peribadi) lakukanlah dengan ringkas.”
Wallahu a’lam.