Monday, November 15, 2010

Menanti Bidadari Syurga


Penulis sering tersenyum tatkala melihat gelagat sahabat-sahabat bujang penulis berbicara soal perkahwinan dan calon isteri. Ada yang sedang mencari-cari, mohon dicarikan, telah berpunya/bertunang, sedang dalam proses bertunang dan tak keruan juga yang masih belum bersedia untuk menuju baitul muslim. Semoga mereka semua dipertemukan dengan bidadari terbaik buat menemani kehidupan bersama nanti, yang mampu memberikan kebahagiaan kepada mereka, baik di dunia sehinggalah ke syurga kelak, insyaAllah.

Kepada sahabat-sahabat penulis, jua buat para pemuda di luar sana, benar kita semua ingin memiliki bidadari. Justeru, ayuh kita berdoa agar kita dikurniakan bidadari syurga seperti yang dimiliki oleh seorang sahabat Rasulullah saw. Hanzhalah bin Abu Amir. Hanzhalah beruntung bukar sekadar sempat membina rumahtangga syurga bersama bidadari pilihannya Ukhti Jamilah, tetapi dia beroleh juga bidadari-bidadariri syurga yang setia menantinya.

Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.
Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu. Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir, namun dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasad dengki dengan kenabian Muhammad saw. Namun dengan kebesaran Allah swt. tiak lama kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah saw. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.

Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari Rasulullah.
Di tengah kesibukannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamik, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fasa kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada hikmah kurniaan Allah yang tidak mungkin dapat dijangkanya.

Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat ayahnya. Mertuanya itu dikenali sebagai sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan juang, dia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.

Sementara itu situasi Madinah dalam keadaan siap siaga. Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rancangan penyerangan pasukan Abu Sufian. Situasi Madinah sangat genting pada saat itu. Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya itu merupakan gambaran pemuda yang senantiassa tenang menghadapi pelbagai macam keadaan.

Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Beliau meminta izin kepada Nabi saw. untuk bermalam bersama isterinya. Beliau tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama isteri yang baru saja dinikahinya.
Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tidak akan karam walau kelak badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tidak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.

Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya dihiasi keindahan rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk kepayang.
Indah…

Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma cinta, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.

“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”

Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama syurgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan dari sang isteri.

Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, sehingga dia tidak sempat mandi terlebih dahulu. Isterinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,

Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun akhirnya berangkat menuju medan juang untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.

Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tidak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.

Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubair, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan pekikan semangat, seolah tidak ada lagi yang dapat menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, serban merah Abu Dujanah, serban kuning Zubair, serban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.

Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda bergerak secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan kesan bak hempasan angin puting beliung.

Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru maku ke hadapan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di badan sudah tidak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.

Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus menerjang. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.

Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufian melihat lelaki yang luarbiasa itu. Dia ingin sekali mendekati dan membunuhnya, tetapi semangatnya belum juga cukup untuk membalas dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufian ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufian terpaksa berhadapan dengannya, satu lawan satu. Abu Sufian terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.

Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufian berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, berhasil membaca gerakan Hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, Para sahabat yang berada di sekitar dirinya cuba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.

Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam situasi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari pelbagai penjuru.

Tidak lama, kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Hanzhalah ternyata syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.

Sentuhan cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga terjadi hujan seketika dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelibat mengiringi titisan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.

Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tidak pernah turun setitis pun. Para sahabat yang menyaksikan merasa hairan. Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Seorang sahabat berkata, “Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat dari perak.” Demikian Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.

Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil isteri Hanzhalah.

Wanita yang dimaksudkan tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”

Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”

Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Bahawasanya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah isteri-isterinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.”
Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (iaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam syurga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).

Ternyata, jalannya JIHAD “Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!” di jalan Allah swt untuk memiliki bidadari syurga.. Ayuh kita tingkatkan tekad untuk terus istiqamah dengan jihad yang sedang kita laluinya wahai sahabat-sahabatku. Jangan pernah ada rasa lelah dan lemah kerana motivasi kita bekerja adalah syurga dan ukhrawi. Mari kita mengikuti jejak langkah para sahabat saw. yang sentiasa meletakkan akhirat dan syurga sebagai motivasi amal mereka walau apapun ujian, mehah dan tribulasi yang dihadapi.

3 comments:

  1. subhanallah...
    cinta teragung di arasy sana, usah diduga cinta manusia, tiada tanding seisi dunia...

    minta izin share di fb...

    ReplyDelete

Jom Sertai TeenACE Jun 2013

Pautan Tarbawi ♥

Langitilahi.Com

halaqahmuntijah

HALUANPalestin

Menyumbang Untuk Palestin

Kolej Tarbiyah Dakwah